
Heboh tentang Seorang Ketua Umum (Ketum) Partai Politik (Parpol) dipolisikan karena melakukan penganiayaan terhadap perempuan yang diduga istri mudanya menjadi sorotan publik.
Isu tersebut mencuat setelah seorang pengacara, Sunan Kalijaga mengungkapkannya ke publik saat dampingi wanita muda saat menjadi korban penganiayaan.
” Malam ini saya mendampingi perempuan publik figur yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan, dan menurut korban, pelakunya diduga adalah Ketua Umum Partai Politik,” tulis Sunan Kalijaga melalui akun Instagramnya @sunankalijaga_sh, Kamis (3/10/24) lalu.
Dalam unggahannya, Sunan juga memperlihatkan foto dirinya yang tampak mendampingi korban di sebuah fasilitas kesehatan, di mana wanita tersebut tengah menjalani perawatan akibat kekerasan yang dialaminya.
Sosok yang dilaporkan Sunan Kalijaga itu pun terungkap, karena korban mencabut kembali laporannya karena kasus dugaan penganiayaan tersebut sudah diselesaikan secara kekeluargaan.
” Iya benar (terlapor Ahmad Ridha Sabana),” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi di Polda Metro Jaya, Rabu (9/10/2024).
Sebelumnya, Reza Indragiri Amril, Pakar psikologi forensik, angkat bicara merespons heboh kabar Ketua Umum (ketum) sebuah Partai Politik besar yang diduga menganiaya istri muda dan dilaporkan ke Polisi.
Dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Ketum Parpol itu sebelumnya terungkap dari unggahan seorang pengacara kondang yang mengaku sudah membuat laporan ke Polda Metro Jaya.
Dalam unggahan itu, si pengacara mengaku sedang bersama kliennya yang jadi korban penganiayaan.
” Patut disesalkan jika peristiwa ini benar-benar terjadi,” kata Reza Indragiri kepada JPNN.com, Sabtu (5/10/24) lalu.
Akan tetapi, bila dengan asumsi bahwa KDRT itu memang ada dan terdapat pula pengaruh alkohol, Reza bertanya-tanya berapa tinggi kemungkinannya untuk penyelesaian lewat litigasi dan berujung pada pemenjaraan ?
Menurut Reza, pemenjaraan (retributive justice) faktanya tak menguntungkan siapa pun.
” Suami marah, berhenti memberikan nafkah, apalagi jika buka-buka identitas dan aib, alamat hidup istri muda kian terlunta-lunta,” lanjutnya.
Sebaliknya dengan restorative justice, katanya, bagi istri muda, peluangnya untuk memperoleh ganti rugi akan jauh lebih tinggi.
” Bagi suami, risiko residivismenya lebih rendah, apalagi jika disertai terapi setop miras,” kata pakar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Di sisi lain, bagi negara, biaya penegakan hukumnya lebih ekonomis. Lembaga penegakan hukum pun bisa terhindar dari ‘kekikukan’ memproses hukum tokoh elite.
” Bagi keluarga besar, aib bisa ditutup sehingga tidak ada anggota keluarga yang ikut terkena getahnya,” tutur pakar yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu.
Nah, sekarang menurutnya tinggal lagi pengacara kedua pihak menempuh upaya penyelesaian dugaan penganiayaan itu.
Konon, kata Reza, pada umumnya pengacara kurang sreg dengan restorative justice.
” Dugaan yang masuk akal, mengingat para advokat tampaknya lebih terlatih, berpengalaman, dan diuntungkan lewat retributive justice,” ucapnya.
Oleh karena itu, jelas diperlukan kecakapan untuk melakukan restorative lawyering alias pendampingan hukum berbasis restoratif, agar suami dan istri mudanya bisa menyelesaikan masalah pidana mereka dengan mindset perdata.
” Bukan retributive justice yang malah membuat dua pihak yang bertikai semakin mendidih,” ujar sarjana psikologi dari UGM itu.
Namun, Reza menilai persoalan ini bakal diselesaikan secara damai.
” Jadi, mari bertaruh: bagaimana kira-kira akhir kasus KDRT dimaksud? Percayalah, bakal damai mereka!” kata Reza Indragiri.***